Supermarket Bencana Bernama Indonesia

Jumat, 29 Oktober 2010
Liputan6.com, Jakarta: Panen bencana. Bagaimana tidak? Sepekan terakhir bencana banjir, gempa, tsunami, hingga gunung meletus datang silih berganti di negeri ini. Itulah sebabnya, sebagian orang menyebut Indonesia kini sudah menjadi supermarket bencana. Kopi Pagi, Sabtu (30/10), sengaja mengangkat tema tersebut.

Indonesia adalah negeri rawan bencana. Sepanjang Oktober 2010 saja, berbagai musibah terjadi. Dari banjir bandang Wasior, Papua Barat, banjir di Jakarta, Gunung Merapi meletus, sampai gempa bumi yang disertai tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.

Ratusan orang kehilangan nyawa dan ribuan lainnya kehilangan sanak keluarga serta harta benda. Belum terhitung berapa nilai kerugian akibat serangkaian musibah tersebut.

Bencana yang datang seakan tak pernah berhenti. Tak bisa diramal, terlebih dicegah. Manusia hanya bisa pasrah. Memang kita bisa menyiapkan berbagai peralatan pemantau bencana, namun jika Sang Pencipta berkehendak, maka yang harus terjadi, terjadilah.

"Kita harus membenahi diri. Zaman sudah tua, orangnya sudah tak karu-karuan. Sudah banyak maksiat di mana-mana, mungkin ini teguran," ujar Anwar, warga, menanggapi bencana yang terjadi belakangan ini.

Warga lain berpendapat, bencana sebaiknya bisa menjadi bahan instropeksi diri. Sebab, boleh jadi, bencana yang ada bukan sekadar musibah, tapi merupakan peringatan untuk manusia.

Selain serangkaian bencana, sosok Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi juga menjadi pembicaraan pekan ini. Sebagian masyarakat kagum atas pengabdian dan loyalitas Mbah Maridjan, namun ada juga yang menganggap tindakannya menentang maut. "Mengenaskan, sudah disuruh turun tetap tak mau," ujar seorang warga.

Beberapa hari sebelum meninggal, Mbah Maridjan sempat ditemui sejumlah wartawan. Namun, dia terus menutupi wajahnya seolah malu melihat kamera. Boleh jadi, mungkin ini firasat yang ditunjukkan bahwa kelak kita tak akan lagi melihat wajahnya menghiasi layar kaca.

Sosok Mbah Maridjan mendadak terkenal sejak 2006. Saat itu Mbah Marijan enggan dievakuasi meski Merapi akan meletus. Dia memilih tak meninggalkan Merapi, sampai akhirnya hayat menjemput. Selama 28 tahun mengabdi sebagai juru kunci Merapi, Mbah Maridjan mengajari kita arti sebuah kesetiaan, kesederhanaan, dan pengabdian yang belakangan menjadi barang mahal di negeri ini.(ULF)

0 komentar:

Posting Komentar

statistik

yahoo messenger!!

Popular Posts